Mengapa
gagak merah heran pada janji merpati?
Tentu saja karena tak seekor hewan jantan pun di bumi Tuhan ini, yang
hanya memiliki satu betina! Tidak ada,
gumamnya dalam hati. Maka, sebuah akal
licik muncul di benaknya. Ia akan
membuat kawan karibnya itu mengingkari janji. “Oh, malam, cepatlah berlalu, aku
tak sabar,” teriaknya pada malam. Sebuah ranting mendarat di kepalanya diikuti ucapan gagak lain,”Hei!
Teriakanmu membangunkanku tidur!”
Suara
khas ayam hutan mengawali fajar di hutan itu.
Berkas cahaya mulai menyeruak di antara pepohonan dihutan. Si Merpati Jantan berada di luar sarangnya,
berjaga-jaga agar tidak ada ular yang memakan kekasihnya yang masih terlelap. Tiba-tiba, ia menangkap titik merah di
langit. Titik merah itu kian lama kian dekat dan tampaklah sosok si Gagak Merah.
“Wahai
kawan karibku yang perkasa,” seru si Merpati Jantan senang. “Sudah lama kita
tak ada bersua. Ada gerangan apa kau
singgah ke peraduanku?,”
“Merpati,
kawanku. Aku hanya khawatir akan keadaanmu,” balas si Gagak Merah dan dalam
hati ia berkata juga untuk membuat kau
lupa akan janjimu. “Hai kawanku, apa kau tidak jenuh dengan betinamu itu? Lihatlah para pejantan lain di hutan ini, tak
ada yang sepertimu,” Gagak Merah mulai mencoba menggoyahkan merpati jantan.
Mendengar
ucapan gagak merah, dengan tegas merpati jantan menjawab,”Tidak, Kawan. Merpati hanya setia pada yang satu. Itu janji
merpati. Merpati memang tak pernah
ingkar janji.”
“Bah,
kolot kau kawan!,” ujar si Gagak Merah seraya mengibaskan sayap kanannya. “Katakan padaku bahwa itu hanya lagakmu
saja?! Mana mungkin ada pejantan yang seperti itu. Bila pelita hatimu itu redup dimakan usia,
aku tak jamin kau masih setia pada janjimu.”
“Janji
merpati tak pernah mati meski raga berpisah dengan jiwa. Itulah janji merpati, Kawan. Merpati memang tak pernah ingkar janji.”
Begitulah. Si Gagak Merah terus menerus mencoba
menggoyahkan kawan karibnya itu, namun ia selalu memperoleh reaksi yang
sama. Hingga akhirnya ia menyerah dan
terbang pulang untuk memikirkan cara lain.
Keesokan harinya, si Gagak Merah datang
kembali ke sarang si Merpati Jantan dengan rencana bulus baru. Ia akan membuat merpati jantan lupa pada
janji merpatinya dengan cara menyuruh merpati jantan pergi ke gunung di belakang
hutan untuk mengambil batu berkilau , dengan dalih bahwa batu itu untuk si
Merpati Betina. Gunung itu merupakan tempat
tinggal burung merak yang sangat indah parasnya. Ia berharap merpati jantan akan terpesona dan
tinggal di sana lebih lama, meninggalkan betinanya sendirian.
Tak berapa lama, sampailah ia pada sarang
merpati jantan. Seperti biasa, kawan karibnya
itu berjaga di luar sarang.
“Hai, Kawanku!,”serunya. “Aku minta
maaf atas perkataan-perkataanku kemarin.
Tak seharusnya aku menggoyahkanmu.
Namun, itu hanya caraku menguji kepatuhanmu pada janjimu. Ternyata, memang, janji merpati itu sangat
teguh,” ujarnya dengan mimik yang seolah menyesal.
“Ah, santai sajalah, Kawan. Aku tak memasukkannya dalam hati,” jawab si
Merpati Jantan bijak.
“Baguslah kalau begitu. Oh ya, Kawan.
Tahukah kau hadiah yang paling disenangi betina?”
Dengan penasaran si Merpati Jantan
balas bertanya “Apa ada selain rasa yang utuh dan janji setia, yang diinginkan
seorang betina?”
Mendengar reaksi kawannya itu, bersoraklah si Gagak Merah dalam hati.
Si Merpati Jantan mulai termakan umpan. Dengan
panjang lebar, ia berceloteh kembali “Bah, polosnya kau , Kawan. Masa
kau tidak tahu? Tentu saja batu berkilau
di gunung belakang hutan. Itu adalah
yang diimpikan setiap betina. Tapi sangat susah untuk mendapatkannya.
Hanya ada satu di bumi Tuhan ini dan belum
ada satupun pejantan yang berhasil. Batu
itu berada di pucak tertinggi gunung.”
“Benarkah demikian, Kawan? Kalau begitu, aku akan pergi mengambilkannya
untuk daraku. Jagalah ia sementara aku
pergi.” Setelah berucap demikian,
terbanglah merpati jantan menuju ke gunung di belakang hutan. Ia masih sempat mendengar seruan si Gagak
Merah, “Tentu Kawan. Dia aman di
tanganku!”
Si
Gagak
Merah puas sekali bisa membuat kawan karibnya itu pergi. Ia yakin,
pasti si Merpati Jantan akan lupa
pada betinanya bila bertemu dengan sekelompok burung merak. Paras
burung merak sungguh tiada duanya. Maka dikiranya benarlah bahwa tiada
jantan
yang teguh pada janji setia.
Dimasukinyalah
ke sarang kawannya itu, tempat si Merpati Betina sedang tertidur sambil
mengerami telurnya. Dibangunkanyalah
merpati betina itu dengan suara yang kasar.
“Hei kau, Merpati Betina! Bangun!
Tak tahukah kau merpati jantanmu itu sudah pergi meninggalkanmu”
Si Merpati Betina yang malang itu
terperanjat dari tidurnya.
Dikerjap-kerjapkannya kedua mata biru itu dan dicarinyalah sumber suara
yang keras itu. Matanya menangkap sosok
Gagak Merah yang berdiri menutupi pintu keluar sarang.
Berkatalah ia pada gagak merah, “Wahai
teman kekasihnku, ada apa gerangan kau membuat gaduh di sarangku ini?”. Kemudian matanya kembali menyusuri sarang,
berusaha mencari sosok belahan jiwanya itu, namun sayang, tak ada. “Ke mana Si
Merpati Jantan?” kembali ia bertanya pada si Gagak Merah.
“Hahahaha,” si Gagak Merah malah
tertawa terbahak-bahak. “Ia sudah pergi meninggalkanmu. Tidak ada pejantan yang setia wahai Merpati
Betina! Janji merpati itu palsu!”
Mendengar hal itu, si Merpati betina
berkata,” Janji merpati adalah hakiki.
Cerminan janji Tuhan pada makhluk-Nya, tidak sekadar firman belaka.
Lihatlah, kekasihku itu akan kembali. Merpati memang tak pernah
ingkar.”
Lagi-lagi, si Gagak Merah mendengar
jawaban seperti itu. Seketika darahnya
mendidih dan dicabutinyalah bulu-bulu sayap
merpati betina. Merpati betina
tak bisa berbuat banyak selain meronta.
Namun, tak ada gunanya.
Tinggallah ia sendirian di sarang, tanpa sayap, sementara si Gagak Merah
itu berlalu pergi sambil berkata, “Kalaupun ia kembali, takkan sudi lagi ia
denganmu yang sudah cacat seperti itu!”
Hari
silih
berganti. Si Merpati Betina
menunggu dengan sabar kepulangan jantung hatinya itu. Ia yakin si
Merpati Jantan akan pulang. Tentu saja, janji setia merpati tak pernah
mati karena memang, merpati tak pernah ingkar.
Dalam
penantiannya itu, si Gagak Merah selalu menghampirinya dan mencercanya. Bodoh, katanya. Pejantan
yang sudah pergi takkan kembali lagi. Seperti itu setiap hari, hingga si
Merpati Jantan pulang dengan membawa batu berkilau untuk merpati betina. Namun, alangkah terkejutnya ia melihat kondisi
si Merpati Betina yang tanpa sayap. Dihampirinya kekasihnya itu, seraya
bertanya,” Wahai kasihku, siapa gerangan yang menghilangkan sayap indahmu itu?”
“Kawan karibmu, si Gagak Merah. Ia ingin membuktikan bahwa janji merpati itu bualan
belaka,” jawab si Merpati Betina.
Mendengar hal itu, si Merpati Hitam
sangat marah pada si Gagak Merah dan pergilah ia ke tempat si Gagak Merah
dengan membawa batu berkilau yang ditemukannya.
Ia ingin memberi ‘kawannya’ itu pelajaran.
Betapa
terkejutnya si Gagak Merah melihat kedatangan si Merpati Jantan.
Berucaplah
si Merpati Jantan,” Lihat, kawanku. Aku
sudah kembali dengan membawa batu berkilau untuk betinaku. Namun, saying, ketika aku kembali, daraku itu
tanpa sayap.”
“Bagaimana kau bisa kembali? Tidakkah kau terpikat pada burung merak di
gunung?,” alih-alih bertanya pada si Merpati Jantan, sepertinya ia lebih
bertanya pada dirinya sendiri.
“Hai, Gagak Merah, mengapa kau
mencelakakan daraku itu?! Bukankah aku memintamu untuk menjaganya di kala aku
pergi?! Kau sudah melanggar ucapanmu pada seejor merpati!” seru si Merpati
Jantan marah. Tatapan kedua pejantan itu
beradu.
“Tak kusangka kau kembali, ‘Kawan’,
ujar si Gagak Merah tanpa merasa bersalah sedikitpun. Kata ‘kawan’ pun dilontarkannya dengan nada
sinis. “Ternyata memang janji merpati itu hakiki. Hahhaha.. kau satu-satunya pejantan yang
seperti ini kawan. Tidak berpaling dari betinamu”
“Kurasa tak pantas lagi kata ‘kawan’
berada di tengah kita. Sungguh licik dan
keji perbuatanmu, hai Gagak Merah.”
Kedua pejantan itu pun terdiam. Larut dalam pikiran masing-masing. Si Gagak Merah masih sibuk dengan
keheranannya, sementara si Merpati Jantan sudah menyiapkan rencana untuk
membuat si Gagak menyesal atas perbuatannya yang telah melanggar janji pada
seekor merpati. Si Merpati Jantan pun
memecah kesunyian itu.
“Aku berjanji akan melupakan janji
merpati dengan satu syarat,” ujarnya. “Kau harus mencari batu berkilau ini setelah
kulempar dan membawanya kembali padaku.”
Mendengar hal itu, dengan congkak si
Gagak Merah mengangkat kepalanya dan menerima tantangan itu. Ia teguh pada keyakinannya bahwa tidak ada
pejantan yang setia.
“Hah, perkara mudah itu. Lemparkan sajalah dan aku akan segera
membawanya ke hadapanmu dalam sekejap. Dan ketika itulah, janji merpati akan sirna”
Si Merpati Jantan diam-diam sudah
menyimpan batu berkilau itu di balik sayap kirinya. Sedangkan, di sayap
kanannya sudah tersedia
batu biasa dan batu itulah yang ia lemparkan sejauh-jauhnya. Gagak yang
terlalu sibuk dengan
kecongkakannya, tidak menyadari hal itu.
Dia sibuk mencari batu yang dikiranya adalah batu berkilau. Tentu saja
ia tidak pernah menemukannya. Batu itu sudah dikubur si Merpati Jantan
di
bawah pohon tempatnya bersarang. Si Gagak
Merah terus mencari batu berkilau itu hingga ia kehilangan
kewarasannya. Setiap ia melihat barang berkilau, ia akan mengambil
barang itu dengan harapan itulah batu berkilau.
Janji
merpati selalu terjaga, cerminan janji Tuhan kepada hamba-nya yang selalu
terjaga.
Sumber
0 comments:
Posting Komentar