Senin, 21 Mei 2012

Story - Janji Merpati


Awan hitam berkuasa malam itu, membuat bulan tak menampakkan muka putihnya.  Bintang pun enggan berpijar tanpa bulan.  Alhasil, hutan gelap gulita. Namun tiba-tiba, dua bola cahaya kecil berpijar, sedikit memberikan warna pada pekatnya malam.  Dua bola cahaya itu rupanya milik seekor gagak merah jantan yang bertengger pada sebuah pohon di sudut hutan.  Ia baru saja terjaga dari tidurnya yang tak nyenyak.  Sesuatu masih mengusik pikirannya.  Ialah si Merpati Jantan, kawan karibnya.  Si Gagak Merah heran pada kawan karibnya itu.  Begitu teguhnya janji merpati pada pasangannya. Tiada pernah mendua, apalagi men-tiga.  Merpati pun tak pernah tersesat.  Ia selalu tahu jalan pulang ke belahan hatinya, sejauh apapun ia mengarungi langit.
Mengapa gagak merah heran pada janji merpati?  Tentu saja karena tak seekor hewan jantan pun di bumi Tuhan ini, yang hanya memiliki satu betina! Tidak ada, gumamnya dalam hati.  Maka, sebuah akal licik muncul di benaknya.  Ia akan membuat kawan karibnya itu mengingkari janji. “Oh, malam, cepatlah berlalu, aku tak sabar,” teriaknya pada malam. Sebuah ranting mendarat di  kepalanya diikuti ucapan gagak lain,”Hei! Teriakanmu membangunkanku tidur!”

Suara khas ayam hutan mengawali fajar di hutan itu.  Berkas cahaya mulai menyeruak di antara pepohonan dihutan.  Si Merpati Jantan berada di luar sarangnya, berjaga-jaga agar tidak ada ular yang memakan kekasihnya yang masih terlelap.  Tiba-tiba, ia menangkap titik merah di langit. Titik merah itu kian lama kian dekat dan tampaklah sosok si Gagak Merah.
“Wahai kawan karibku yang perkasa,” seru si Merpati Jantan senang. “Sudah lama kita tak ada bersua.  Ada gerangan apa kau singgah ke peraduanku?,”
“Merpati, kawanku. Aku hanya khawatir akan keadaanmu,” balas si Gagak Merah dan dalam hati ia berkata juga untuk membuat kau lupa akan janjimu. “Hai kawanku, apa kau tidak jenuh dengan betinamu itu?  Lihatlah para pejantan lain di hutan ini, tak ada yang sepertimu,” Gagak Merah mulai mencoba menggoyahkan merpati jantan.
Mendengar ucapan gagak merah, dengan tegas merpati jantan menjawab,”Tidak, Kawan.  Merpati hanya setia pada yang satu. Itu janji merpati.  Merpati memang tak pernah ingkar janji.”
“Bah, kolot kau kawan!,” ujar si Gagak Merah seraya mengibaskan sayap kanannya.  “Katakan padaku bahwa itu hanya lagakmu saja?! Mana mungkin ada pejantan yang seperti itu.  Bila pelita hatimu itu redup dimakan usia, aku tak jamin kau masih setia pada janjimu.”
“Janji merpati tak pernah mati meski raga berpisah dengan jiwa.  Itulah janji merpati, Kawan.  Merpati memang tak pernah ingkar janji.”
Begitulah.  Si Gagak Merah terus menerus mencoba menggoyahkan kawan karibnya itu, namun ia selalu memperoleh reaksi yang sama.  Hingga akhirnya ia menyerah dan terbang pulang untuk memikirkan cara lain.

            Keesokan harinya, si Gagak Merah datang kembali ke sarang si Merpati Jantan dengan rencana bulus baru.  Ia akan membuat merpati jantan lupa pada janji merpatinya dengan cara menyuruh merpati jantan pergi ke gunung di belakang hutan untuk mengambil batu berkilau , dengan dalih bahwa batu itu untuk si Merpati Betina.  Gunung itu merupakan tempat tinggal burung merak yang sangat indah parasnya.  Ia berharap merpati jantan akan terpesona dan tinggal di sana lebih lama, meninggalkan betinanya sendirian.
            Tak berapa lama, sampailah ia pada sarang merpati jantan.  Seperti biasa, kawan karibnya itu berjaga di luar sarang.
            “Hai, Kawanku!,”serunya. “Aku minta maaf atas perkataan-perkataanku kemarin.  Tak seharusnya aku menggoyahkanmu.  Namun, itu hanya caraku menguji kepatuhanmu pada janjimu.  Ternyata, memang, janji merpati itu sangat teguh,” ujarnya dengan mimik yang seolah menyesal.
            “Ah, santai sajalah, Kawan.  Aku tak memasukkannya dalam hati,” jawab si Merpati Jantan bijak.
            “Baguslah kalau begitu.  Oh ya, Kawan.  Tahukah kau hadiah yang paling disenangi betina?”
            Dengan penasaran si Merpati Jantan balas bertanya “Apa ada selain rasa yang utuh dan janji setia, yang diinginkan seorang betina?”
            Mendengar reaksi kawannya itu,  bersoraklah si Gagak Merah dalam hati.  Si Merpati Jantan mulai termakan umpan. Dengan panjang lebar, ia berceloteh kembali “Bah, polosnya kau , Kawan.  Masa kau tidak tahu? Tentu saja batu berkilau di gunung belakang hutan.  Itu adalah yang diimpikan setiap betina. Tapi sangat susah untuk mendapatkannya.  Hanya ada satu di bumi Tuhan ini dan belum ada satupun pejantan yang berhasil.  Batu itu berada di pucak tertinggi gunung.”
            “Benarkah demikian, Kawan?  Kalau begitu, aku akan pergi mengambilkannya untuk daraku.  Jagalah ia sementara aku pergi.”  Setelah berucap demikian, terbanglah merpati jantan menuju ke gunung di belakang hutan.  Ia masih sempat mendengar seruan si Gagak Merah, “Tentu Kawan.  Dia aman di tanganku!”


Si Gagak Merah puas sekali bisa membuat kawan karibnya itu pergi.  Ia yakin, pasti si Merpati Jantan akan lupa pada betinanya bila bertemu dengan sekelompok burung merak.  Paras burung merak sungguh tiada duanya.  Maka dikiranya benarlah bahwa tiada jantan yang teguh pada janji setia.
Dimasukinyalah ke sarang kawannya itu, tempat si Merpati Betina sedang tertidur sambil mengerami telurnya.  Dibangunkanyalah merpati betina itu dengan suara yang kasar.
            “Hei kau, Merpati Betina!  Bangun!  Tak tahukah kau merpati jantanmu itu sudah pergi meninggalkanmu”
            Si Merpati Betina yang malang itu terperanjat dari tidurnya.  Dikerjap-kerjapkannya kedua mata biru itu dan dicarinyalah sumber suara yang keras itu.  Matanya menangkap sosok Gagak Merah yang berdiri menutupi pintu keluar sarang.
            Berkatalah ia pada gagak merah, “Wahai teman kekasihnku, ada apa gerangan kau membuat gaduh di sarangku ini?”.  Kemudian matanya kembali menyusuri sarang, berusaha mencari sosok belahan jiwanya itu, namun sayang, tak ada. “Ke mana Si Merpati Jantan?” kembali ia bertanya pada si Gagak Merah.
            “Hahahaha,” si Gagak Merah malah tertawa terbahak-bahak. “Ia sudah pergi meninggalkanmu.  Tidak ada pejantan yang setia wahai Merpati Betina!  Janji merpati itu palsu!”
            Mendengar hal itu, si Merpati betina berkata,” Janji merpati adalah hakiki.  Cerminan janji Tuhan pada makhluk-Nya, tidak sekadar firman belaka.  Lihatlah, kekasihku itu akan kembali.  Merpati memang tak pernah ingkar.”
            Lagi-lagi, si Gagak Merah mendengar jawaban seperti itu.  Seketika darahnya mendidih dan dicabutinyalah bulu-bulu sayap  merpati betina.  Merpati betina tak bisa berbuat banyak selain meronta.  Namun, tak ada gunanya.  Tinggallah ia sendirian di sarang, tanpa sayap, sementara si Gagak Merah itu berlalu pergi sambil berkata, “Kalaupun ia kembali, takkan sudi lagi ia denganmu yang sudah cacat seperti itu!”

Hari silih berganti.  Si Merpati Betina menunggu dengan sabar kepulangan jantung hatinya itu.  Ia yakin si Merpati Jantan akan pulang.  Tentu saja, janji setia merpati tak pernah mati karena memang, merpati tak pernah ingkar.
Dalam penantiannya itu, si Gagak Merah selalu menghampirinya dan mencercanya. Bodoh, katanya.  Pejantan yang sudah pergi takkan kembali lagi. Seperti itu setiap hari, hingga si Merpati Jantan pulang dengan membawa batu berkilau untuk merpati betina.  Namun, alangkah terkejutnya ia melihat kondisi si Merpati Betina yang tanpa sayap. Dihampirinya kekasihnya itu, seraya bertanya,” Wahai kasihku, siapa gerangan yang menghilangkan sayap indahmu itu?”
            “Kawan karibmu, si Gagak Merah.  Ia ingin membuktikan bahwa janji merpati itu bualan belaka,” jawab si Merpati Betina.
            Mendengar hal itu, si Merpati Hitam sangat marah pada si Gagak Merah dan pergilah ia ke tempat si Gagak Merah dengan membawa batu berkilau yang ditemukannya.  Ia ingin memberi ‘kawannya’ itu pelajaran.

Betapa terkejutnya si Gagak Merah melihat kedatangan si Merpati Jantan.
Berucaplah si Merpati Jantan,” Lihat, kawanku.  Aku sudah kembali dengan membawa batu berkilau untuk betinaku.  Namun, saying, ketika aku kembali, daraku itu tanpa sayap.”
            “Bagaimana kau bisa kembali?  Tidakkah kau terpikat pada burung merak di gunung?,” alih-alih bertanya pada si Merpati Jantan, sepertinya ia lebih bertanya pada dirinya sendiri.
            “Hai, Gagak Merah, mengapa kau mencelakakan daraku itu?! Bukankah aku memintamu untuk menjaganya di kala aku pergi?! Kau sudah melanggar ucapanmu pada seejor merpati!” seru si Merpati Jantan marah.  Tatapan kedua pejantan itu beradu.
            “Tak kusangka kau kembali, ‘Kawan’, ujar si Gagak Merah tanpa merasa bersalah sedikitpun.  Kata ‘kawan’ pun dilontarkannya dengan nada sinis. “Ternyata memang janji merpati itu hakiki.  Hahhaha.. kau satu-satunya pejantan yang seperti ini kawan. Tidak berpaling dari betinamu”
            “Kurasa tak pantas lagi kata ‘kawan’ berada di tengah kita.  Sungguh licik dan keji perbuatanmu, hai Gagak Merah.”
            Kedua pejantan itu pun terdiam.  Larut dalam pikiran masing-masing.  Si Gagak Merah masih sibuk dengan keheranannya, sementara si Merpati Jantan sudah menyiapkan rencana untuk membuat si Gagak menyesal atas perbuatannya yang telah melanggar janji pada seekor merpati.  Si Merpati Jantan pun memecah kesunyian itu.
            “Aku berjanji akan melupakan janji merpati dengan satu syarat,” ujarnya. “Kau harus mencari batu berkilau ini setelah kulempar dan membawanya kembali padaku.”
            Mendengar hal itu, dengan congkak si Gagak Merah mengangkat kepalanya dan menerima tantangan itu.  Ia teguh pada keyakinannya bahwa tidak ada pejantan yang setia.
            “Hah, perkara mudah itu.  Lemparkan sajalah dan aku akan segera membawanya ke hadapanmu dalam sekejap.  Dan ketika itulah, janji merpati akan sirna”
            Si Merpati Jantan diam-diam sudah menyimpan batu berkilau itu di balik sayap kirinya.  Sedangkan, di sayap kanannya sudah tersedia batu biasa dan batu itulah yang ia lemparkan sejauh-jauhnya.  Gagak yang terlalu sibuk dengan kecongkakannya, tidak menyadari hal itu.  Dia sibuk mencari batu yang dikiranya adalah batu berkilau.  Tentu saja ia tidak pernah menemukannya.  Batu itu sudah dikubur si Merpati Jantan di bawah pohon tempatnya bersarang.  Si Gagak Merah terus mencari batu berkilau itu hingga ia kehilangan kewarasannya.  Setiap ia melihat barang berkilau, ia akan mengambil barang itu dengan harapan itulah batu berkilau.

Janji merpati selalu terjaga, cerminan janji Tuhan kepada hamba-nya yang selalu terjaga.
Pesan moral: bila berjanji, berjanjilah seperti seekor merpati

Sumber 
Share this article :

0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...