Numfor ini kota tua dan bersejarah, seharusnya kita tidak lagi bicara
soal kekurangan guru SD tapi sudah bicara bangun perguruan tinggi atau
sekolah tinggi,” kata Octavianus seorang nelayan dari Numfor. Kenyataan
dan harapan berbeda. Numfor hingga hari ini masih kekurangan tenaga
pengajar Sekolah Dasar.
Meski
sudah beberapa waktu meninggalkan Numfor, sepuluh hari di sana membawa
banyak kenangan. Kenangan akan keramahan masyarakatnya, yang menyambut
setiap pendatang seperti menyambut keluarganya sendiri. Kenangan akan
keindahan pantai-pantainya yang susah dicari tandingannya. Namun tidak
bisa dilupakan adalah Numfor yang ramah dan indah itu masih termasuk
daerah yang tertinggal dalam pembangunan.
Numfor di Papua termasuk kota kecamatan yang cukup tua usianya, tapi
pembangunan di sana seperti jalan di tempat. Sebagai contoh jalan raya,
jalan utama di Numfor sebagian sudah diaspal, sebagian masih berupa
tanah berbatu-batu. Sebagian yang diaspal pun sudah mulai rusak di
sana-sini tergerus air hujan. Padahal pada masa Perang Dunia II, Pulau
ini menjadi salah satu basis pertahanan Jepang menghadapi Sekutu. Di
masa itu Jepang membangun berbagai fasilitas dari jalan, pelabuhan
hingga bandara di Numfor. Ribuan orang Numfor dikerahkan untuk
pembangunan ini. Selepas Jepang kalah perang, pembangunan wilayah ini
agak terlupakan.
Bukti berikutnya ketertinggalan Numfor adalah masalah listrik. Listrik
sudah masuk sebagian Numfor, namun menyala hanya 4 jam sehari, dari jam 6
sore hingga
pukul sepuluh malam. Di beberapa tempat listrik bahkan belum masuk.
Namun waktu empat jam sehari itu bagi kami rombongan LAI sudah lumayan
buat mengisi air di bak mandi dengan pompa air. Juga buat me-recharge
battery kamera dan HP. Setiap menjelang senja kami sudah was-was
menunggu tibanya saat mengisi air di bak mandi yang telah kosong dan
berebut untuk me-recharge HP. Maklum, sudah aliran listrik terbatas,
lubang steker listrik di tempat kami menginap pun terbatas. Maka selama
sepuluh hari di Numfor, malam hari kami tidur tanpa cahaya, dengan
tempat tidur tertutup kelambu, untuk menjaga kami dari serangan nyamuk
malaria.
Selain sarana transportasi dan listrik, kendala lainnya yang menghambat
kemajuan Numfor adalah masalah pendidikan. Padahal minat dan
antusiasme warga untuk menyekolahkan anak-anaknya cukup besar. Minat
anak-anak untuk bersekolah, membaca buku dan belajar hal-hal baru juga
cukup tinggi. Terbukti ketika Pdt. Florida, anggota rombongan Satu
Dalam Kasih LAI, mengajari satu dua lagu rohani, anak-anak Sekolah
Minggu di Numfor cepat sekali menghafalkannya.
Mungkin hidup dalam keterbatasan membuat otak mereka terasah, ingatan
mereka selalu dilatih. Ditambah makanan sehari-hari orang Numfor adalah
ikan laut yang kaya protein. Anak-anak Numfor sesungguhnya anak-anak
yang cerdas. Tiap pagi dan siang hari anak-anak remaja di sana mesti
berjalan kaki beberapa kilometer dari tempat tinggalnya untuk berangkat
dan pulang dari sekolah. Namun dalam semua keterbatasan itu, anak-anak
menjalaninya dengan penuh semangat tanpa mengeluh.
Masalah utama sektor pendidikan di Numfor sesungguhnya adalah
terbatasnya sarana pendidikan dan guru-guru yang mau bekerja di
Numfor. Untuk mencoba mengatasi masalah kekurangan guru ini, pemerintah
Kabupaten Biak Numfor sudah mulai mendatangkan guru kontrak dari
Sulawesi Selatan. Pemerintah Kabupaten Biak Numfor mendistribusi ratusan
guru kontrak mulai dari SD,SMP dan SMA di seluruh kabupaten Biak
Numfor.
Menurut sebuah situs masyarakat di sana, masyarakat Numfor menyesalkan
karena beberapa orang guru tetap, yang sudah diangkat sebagai pegawai
negeri, yang seharusnya mengabdi di pulau Numfor , tidak mau menetap
lama. Rata-rata tiap Sekolah Dasar di Numfor hanya memiliki 2 atau 3
guru. Itupun biasanya mereka tidak bertahan lama. Tak lama sesudah
diangkat mereka biasanya minta dimutasikan ke kota. Untuk mensiasati
kekurangan guru, beberapa sekolah dasar membuka kelas pagi dan sore.
Kalau di Jawa, sekolah membuka kelas pagi dan sore, karena murid terlalu
banyak. Di Numfor karena gurunya kurang, dan mesti merangkap mengajar
dua hingga 3 kelas.
Di
Andei, seorang gadis remaja belasan tahun menangis tersedu-sedu karena
tidak kebagian Alkitab yang dibawa rombongan LAI. Orang-orang tua
mencoba menghiburnya, namun tidak bisa menghentikan tangisnya. Gadis
ini sudah begitu lama merindukan memiliki dan membaca Alkitabnya
sendiri. Tangisannya bisa dimaklumi. Anak-anak Numfor selama ini begitu
kekurangan bahan bacaan. Di Numfor tidak ada toko buku. Jangankan toko
buku, mendapatkan koran saja tidak memungkinkan. Toko buku kecil ada
jauh di Biak atau Manokwari, namun untuk ke sana mesti naik kapal tujuh
sampai delapan jam. Tidak tiap hari ada kapal yang sandar di Numfor.
Itupun ongkos perjalanannya tidak murah. Maka, ketika rombongan dari LAI
datang membawa bahan-bahan bacaan anak dan Alkitab, anak-anak
menyambutnya dengan penuh sukacita. Mereka berebutan menerima bacaan
anak tersebut, dan langsung membacanya. Bukti kehausan mereka akan
pengetahuan dan bacaan bermutu.
Ketika akhirnya Pendeta MS Kemerey, Ketua Klasis, merelakan sebuah
Alkitab yang menjadi bagian warganya untuk diberikan kepada si gadis
yang menangis, maka anak itu menyambutnya dengan penuh sukacita. Ketika
saya memintanya untuk berfoto gadis itu tersenyum sambil mendekap erat
Alkitabnya menghadapkan wajahnya ke arah kamera saya. Betul sekali kata
Alkitab,” "Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik!"
Kami semua ikut bersukacita melihat kebahagiaan mereka menerima anugerah
Kitab Suci yang menuntun mereka kepada kehidupan.
Memang Alkitab yang dibawa rombongan LAI ini sangat terbatas dan
sifatnya simbolis. Hanya 500 buah dan mesti dibagikan merata ke 26
jemaat yang ada di Numfor. Sementara, 5000 eksemplar Alkitab yang
dikirim dari Jakarta untuk Numfor tertunda sampai di Numfor karena
permasalahan ekspedisi. Saat rombongan LAI sudah sampai di Numfor,
ribuan Alkitab yang mestinya sudah sampai di Numfor baru tiba di Biak.
Beberapa hari setelah rombongan LAI pulang ke Jakarta, barulah Alkitab
dan bacaan-bacaan yang ditunggu-tunggu tiba di Numfor.
“Numfor adalah kota tua dan bersejarah, seharusnya kita tidak lagi
bicara soal kekurangan guru SD tapi sudah bicara bangun perguruan tinggi
atau sekolah tinggi,” kata Octavianus seorang nelayan yang juga
berprofesi sebagai tukang ojek saat penumpang ramai di dermaga.
Octavianus benar, Numfor adalah kota tua dan bersejarah. Seratus tahun
lebih kekristenan telah hadir di sana. Lebih dari enam puluh tahun
berlalu sejak Jepang kalah perang kota itu. Namun, harapan dan
kenyataan memang sering berbeda. Numfor hingga hari ini masih tertinggal
dibandingkan daerah lain di Nusantara. Entah sampai kapan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar