Berikut ini adalah kesaksian dari Shanti (bukan nama
asli) dimana dia pernah menghadapi tantangan dalam mempertahankan
imannya kepada Yesus.
Bunyi-bunyi tembakan terdengar di luar gereja.
Padahal sore itu gereja cukup ramai. Remaja-remaja hadir untuk
mengikuti katekisasi dan penatua-penatua berkumpul untuk mengikuti
rapat majelis. Ketika tembakan terdengar kami sedang menunggu
kedatangan pak Pendeta. Aku pun berada di antara remaja-remaja itu.
Peristiwa itu terjadi tahun 1964 waktu aku berusia 15 tahun.
Beberapa kawanku dan penatua-penatua segera lari.
Kami tahu bahwa tembakan itu berasal dari sebuah gerombolan pengacau.
Daerah tempat tinggal kami, daerah Bengkayang-Sanggau, Kalimatan
Barat merupakan daerah rawan yang sering dijadikan sasaran gerombolan
pengacau.
Aku ingin lari, tapi apa dayaku, kakiku terasa lemas.
Aku hanya diam ketakutan. Tiba-tiba enam orang gerombolan pengacau
bersenjata masuk ke gereja. Di gereja hanya tinggal aku dan lima
orang penatua yang tidak sempat melarikan diri.
"Angkat tangan semuanya!" seru seorang anggota
gerombolan itu. Kami berenam terpaksa mengikuti apa yang mereka
perintahkan. Gerombolan yang lain segera mengepung kami dan
mengacungkan laras senjatanya ke tubuh kami. Aku sadar bahwa saat itu
aku berada diantara hidup dan mati. "Turunkan gambar yang terpampang
di atas itu!" sambungnya lagi seraya menunjuk gambar Tuhan Yesus
yang berada di atas mimbar gereja. Aku tertegun melihat adegan itu.
Dalam hati aku terus berdoa agar Tuhan campur tangan dalam situasi
seperti itu. Rupanya karena takut ancaman senjata para gerombolan
itu, maka diantara penatua ada yang berusaha menurunkan gambar Tuhan
Yesus itu.
"Apakah ini benar gambar Tuhanmu?" tanyanya lagi.
Sebagai jawabannya aku dan penatua-penatua itu menganggukkan kepala.
"Kenapa kalian menyembah manusia semacam ini? Ayo ludahi dan kencingi
gambar ini. Kalau tidak kalian akan kubunuh semuanya!" bentaknya
dengan suara keras. Karena takutnya, akhirnya satu demi satu penatua
melaksanakan perintah si gerombolan.
Aku menunggu giliranku dengan rasa takut yang
menjadi-jadi. Tapi pada saat yang genting itu terdengar suara yang
berbisik di batinku: "Imanmu bisa menyelamatkanmu. Jangan lakukan
perbuatan itu, apapun yang terjadi." Waktu aku diperintah untuk
melaksanakan adegan seperti para penatua, aku menolaknya. Aku
menangis, lalu merangkul gambar Tuhan Yesus yang telah dikotori itu.
Kubersihkan kotorannya dengan sapu tanganku, tanpa sadar aku berkata,
"Tuhan biarlah aku mati bersamaMu." Melihat kelakuanku itu, seorang
anggota gerombolan menghampiriku. "Bangkitlah dan duduklah di kursi
itu," katanya. Aku pun duduk di kursi yang ditunjuknya sambil terus
mendekap gambar Tuhan Yesus itu.
"Anak gadis, kau takkan kubunuh, karena kau telah
memperlihatkan kesetiaan kepada Tuhan, walaupun harus berhadapan
dengan maut. Dan kalian, yang lima orang lagi, berbarislah di sudut
sana." katanya sambil menunjuk sudut gereja. Kelima orang penatua itu
berbaris di sudut gereja.
"Kalian adalah manusia-manusia yang telah berani
mengkhianati Tuhan kalian dan takut mati untukNya. Kalau manusia
sudah berani berkhianat kepada Tuhannya, apalagi kepada sesuatu yang
hanya berpredikat ideologi." Segera setelah ucapan itu selesai,
serentetan tembakan dilepaskan dan ... terkulailah kelima penatua
itu.
Aku tak sadarkan diri dan tak tahu apa yang terjadi
selanjutnya. Ketika aku sadar, kudapati diriku sudah ada di rumah
orangtuaku.
Pengalaman yang dahsyat itu menyebabkan aku yakin
bahwa iman adalah modal keselamatan. Dan itu tidak hanya berlaku
bagiku, tapi bagi setiap orang yang percaya kepada Dia. Hari-hari
setelah kejadian itu tangan Yesus terasa sekali terus menyentuh ke
dalam setiap relung kehidupanku. Juga gejolak batinku untuk terus
mengiring Dia makin menjadi-jadi.
Setelah tamat SMA, aku melanjutkan ke sekolah
Teologia. Tahun-tahun terus berlalu dan kini aku hidup sebagai
pelayan Tuhan di tengah- tengah Jemaat di daerah pedalaman.
Sampai saat ini Shanti masih aktif memberitakan Injil di pedalaman Irian Jaya
0 comments:
Posting Komentar