Kebutuhan hidup me-nuntut Marina Martin, mantan atlet Nasional harus
berjibaku memenuhi segala kebutuhan hidupnya bersama anak, orangtua dan
saudara-saudaranya. Sepuluh kepala dalam satu rumah mengharuskannya
bersiaga, baik malam hari atau ketika sinar mentari merekah di ufuk
timur demi menafkahi keluarga dengan menjadi pengemudi Taxi wanita.
Marina
tak menyangka ke-hidupan rumahtangganya ber-langsung sedemikin cepat
suami meninggalkannya begitu saja bersama kedua buah hatinya. Suami pun
tak bertangungjawab untuk biaya kehidupan Marina dan sang anak. Alhasil
Marina harus memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri. Dengan kerja
kerasnya, kedua anaknya kini dapat bersekolah, bahkan hingga tamat
Sarjana.
Prihatin
Sejak kecil bakat silat Marina sudah
terlihat. Kemampuannya itu membawa Marina menjuarai silat di berbagai
bidang kejuaraan. Kejuaran Kabupaten di Jawa Barat, Kejuaran Nasional,
hingga memboyong Emas selama kejuaraan di Singapura, pernah ikut dan
menjadi juara di ajang bergengsi ASEAN. Hidup prihatin sudah dijalani
Marina sejak lama. Ketika kecil, ia bahkan sempat berjualan membantu
sang bunda membuat kue-kue kecil, menjajakannya dari kampung-kekampung.
Meskipun sang ayah adalah blasteran Jerman, namun bukan berarti seorang
yang kaya raya. Marina dan keluarga tetap hidup dalam kesederhanaan
yang mengharuskannya ikut membantu berjualan makanan kecil usai pulang
sekolah, ingat mantan atlet nasional ini.
Sedih memang saat
pemerintah tak memperhatikan nasibnya sebagai mantan atlet yang telah
mengharumkan nama Indonesia di tingkat ASEAN, ungkap Marina. Namun
semuanya ia kembalikan pada Tuhan Yesus. Marina merasa kehidupannya
memang sudah garisan Tuhan. “Siapa sih yang mau hidup susah? Semua
pasti menginginkan kehidupan yang layak, enak dan mulus,” tukas Marina.
Sudah
berbulan-bulan Marina menggeluti pekerjannya sebagai pengemudi Taksi,
namun tak kunjung merubah garis hidupnya. Suatu ketika ia mengalami
kondisi tidak fit, perasan sedih tiba-tiba menggelayut. Kemacetan dari
pagi hingga sore di Bumi Serpong Damai (BSD) yang tak kunjung usai
seolah menambah berat beban yang ditanggungnya. Marina kemudian
memutuskan meminggirkan kendarannya tuk sejenak beristirahat. Tiba-tiba
ia menangis lalu berdoa ‘ya Tuhan, kenapa kehidupan saya seperti ini
(mengeluh).’ Marina menyalahkan dan terus mempertannyakan mengapa harus
menjalani ini semua. Tolonglah Tuhan, saya ingin kehidupan yang layak,
saya ingin kehidupan saya berubah! Kalo memang ini sudah jalan-Mu, saya
akan terima. Sambil meneteskan air mata dan hatinya terus berteriak
didalam keheningan Taksi.
Esok hari, pagi-pagi benar radio calling
berbunyi menawarkan order. Tak menunggu lama, dia pun langsung meluncur
ke tempat yang dimaksud. Sesampai di tempat, seorang pria langsung
masuk kedalam Taksi. Marina pun memberanikan diri bertanya “tujuan kita
kemana?“ Karsono, nama penumpang Taxi yang dikendarai Marina itu
menjawab, “kita ke Menpora ya.“ Saat melihat majalah Mutiara Biru
Karsono kaget, wanita sang pengemudi Taksi itu adalah mantan atlet
Nasional. Karsono lalu bertanya kepada Marina perihal pergelutannya di
pencat silat. Karsono juga menyarankan agar Marina meperlihatkan semua
berkas-berkas selama ia menjadi atlet nasional Indonesia. Ternyata Pagi
itu Marina menjemput salah seorang staff di Menpora, dan sempat membaca
majalah Mutiara Biru yang ditulis pak Andri tentang wanita. Salah satu
artikel berjudul “Pesilat yang Beralih Profesi“ itu menceritakan tentang
dirinya.
Jawaban Doa
Puji Tuhan! semua doa Marina
didengarkan oleh Tuhan Yesus. Ia mendapat penghargaan di bulan Oktober,
tepat di Hari Olah Raga Nasional. “Proses Tuhan sungguh ajaib, jika kita
berdoa, jangan berharap langsung mendapatkannya, jadi ada proses,”
ungkap Pendekar Utama pendiri Pusat Pencak Silat Pajajaran di Bekasi.
Kesetiaaan Marina dalam membangun kehidupan doa tak terlepas dari jasa
sang sang ayah. Ayahnya kerap menasihati, sebelum menginjakkan kaki di
bumi agar selalu berdoa mengucap terima kasih kepada Tuhan karena sudah
diberikan umur panjang, kesehatan, dan melindunginya di jalan.
Ketika
mendapat penghargaan, pihak Kemenpora juga berpesan kepada Marina,
kalau seandainya ada atlet dari olah raga apa pun, kabari kami, terutama
atlet-atlet yang bernasib sama denganya. Datang saja langsung ke
Menpora, bawa semua berkas, piagam, dan medali yang pernah didapat saat
berjuang mengharumkan Indonesia.
Ketika Marina menjadi atlet
belum ada lembaga Menpora, dulu masih KONI. “Atlet dulu tidak se-enak
atlet sekarang,” jelas Marina. Sekarang, atlet yang memperoleh mendali
emas di Sea Games dijanjikan diberikan hadiah sebesar 200 juta.
Sementara di tahun 80-an atlet harus sangat-sangat prihatin, memang apa
adanya.
Karena itu, jemaat Gereja Kristen Pasundan GKP Cakung ini
berpesan kepada para atlet agar lebih bersemangat lagi. Pemerintah pun
diharapkan lebih memperhatikan atlet yang pernah membawa nama baik
Indonesia. Sekarang fasilitas yang diberikan pemerintah sudah memadai
dibanding dulu. “Atlet telah dihargai oleh pemerintah, mudah-mudahan
pihak-pihak yang terkait lebih memperhatikan lagi atlet-atlet yang sudah
pernah mengibarkan bendera merah putih, karena menjadi atlet tidak
gampang,” tegas wanita pengemudi Taksi ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar