Saat menegur anak, jangan membandingkan dengan kakaknya atau
dengan orang lain. Membandingkan sama dengan menyerang pribadi, karena
setiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda. Semua anak cerdas, tapi
cerdasnya di bidang yang berbeda-beda. Ada yang cerdas kinestetiknya,
ada yang cerdas spasialnya, ada yang cerdas matematikanya, tapi
sesungguhnya semua anak cerdas. Biarkan mereka belajar dengan caranya
sendiri dan dengan kemampuannya sendiri.
Kita boleh
membandingkan hanya jika bukan dalam rangka marah, tetapi dalam suasana
yang baik, sambil jalan-jalan, sambil liburan, kita bercakap-cakap, lalu
kita membandingkan dalam rangka memberikan inspirasi.
“Nak, kamu
belajar yang rajin, nanti bisa seperti paman tuh, jadi insinyur, jadi
dokter, jadi pengusaha, karena waktu kecil rajin dan dapat juara.” Ini
namanya membandingkan dengan orang lain dalam rangka menginspirasi atau
memotivasi anak. “Wah, kalau kamu rajin, nak. Seperti anaknya Pak Jarot
kamu bisa dapat beasiswa ke Singapura, gratis. Karena dia rajin belajar.
Bukan soal pandai atau tidak pandai, kamu juga pandai, tapi dia rajin
belajar, maka ia menjadi pandai.”
Kita tekankan karakter
rajin, kita bandingkan, tapi dalam situasi yang baik, jangan dalam
suasana marah. “Kamu tuh bisa nggak sih rajin kayak anaknya Pak Jarot.
Dasar malas!” Anak tidak suka dibanding-bandingkan. Anak akan marah.
“Aku ya aku, dia ya dia.”
Anak mau ditegor, anak mau
dikoreksi, tetapi kita harus mengoreksi dengan cara yang baik dan benar.
Adalah bijaksana jika kita menegur kesalahan tanpa
membanding-bandingkan. Dengan demikian kita meyakinkan, bahwa kita
menegur karena kita cinta kepada mereka. Karena kita mengasihi dan
memperhatikan. Karena kita peduli. Maka kita menegur hanya sebatas
kesalahannya saja dan tidak menyerang pribadi.
0 comments:
Posting Komentar