Joko Widodo bersama dengan Basuki Tjahaja Purnama telah memenangkan putaran pertama PILKADA DKI Jakarta 11 Juli 2012. Ini adalah kesaksian Basuki:
Saya lahir di Gantung, desa Laskar Pelangi, di Belitung Timur, di dalam
keluarga yang belum percaya kepada Tuhan. Beruntung sekali sejak kecil
selalu dibawa ke Sekolah Minggu oleh kakek saya. Meskipun demikian,
karena orang tua saya bukan seorang Kristen, ketika beranjak dewasa saya
jarang ke gereja.
Saya melanjutkan SMA di Jakarta dan di sana mulai kembali ke gereja
karena sekolah itu merupakan sebuah sekolah Kristen. Saat saya sudah
menginjak pendidikan di Perguruan Tinggi, Mama yang sangat saya kasihi
terserang penyakit gondok yang mengharuskan dioperasi. Saat itu saya
walaupun sudah mulai pergi ke gereja, tapi masih suka bolos juga. Saya
kemudian mengajak Mama ke gereja untuk didoakan, dan mujizat terjadi.
Mama disembuhkan oleh-Nya! Itu merupakan titik balik kerohanian saya.
Tidak lama kemudian Mama kembali ke Belitung, adapun saya yang sendiri
di Jakarta mulai sering ke gereja mencari kebenaran akan Firman Tuhan.
Suatu hari, saat kami sedang sharing di gereja pada malam Minggu, saya
mendengar Firman Tuhan dari seorang penginjil yang sangat luar biasa. Ia
mengatakan bahwa Yesus itu kalau bukan Tuhan pasti merupakan orang
gila. Mana ada orang yang mau menjalankan sesuatu yang sudah jelas tidak
mengenakan bagi dia? Yesus telah membaca nubuatan para nabi yang
mengatakan bahwa Ia akan menjadi Raja, tetapi Raja yang mati di antara
para penjahat untuk menyelamatkan umat manusia, tetapi Ia masih mau
menjalankannya! Itu terdengar seperti suatu hal yang biasa-biasa saja,
tetapi bagi saya merupakan sebuah jawaban untuk alasan saya mempercayai
Tuhan. Saya selalu berdoa “Tuhan, saya ingin mempercayai Tuhan, tapi
saya ingin sebuah alasan yang masuk akal, cuma sekedar rasa doang saya
tidak mau," dan Tuhan telah memberikan PENCERAHAN kepada saya pada hari
itu. Sejak itu saya semakin sering membaca Firman Tuhan dan saya
mengalami Tuhan.
Setelah saya menamatkan pendidikan dan mendapat gelar Sarjana Teknik
Geologi pada tahun 1989, saya pulang kampung dan menetap di Belitung.
Saat itu Papa sedang sakit dan saya harus mengelola perusahaannya. Saya
takut perusahaan Papa bangkrut, dan saya berdoa kepada Tuhan. Firman
Tuhan yang pernah saya baca yang dulunya tidak saya mengerti, tiba-tiba
menjadi rhema yang menguatkan dan mencerahkan, sehingga saya merasakan
sebuah keintiman dengan Tuhan. Sejak itu saya kerajingan membaca Firman
Tuhan. Seiring dengan itu, ada satu kerinduan di hati saya untuk
menolong orang-orang yang kurang beruntung.
Papa saat masih belum percaya Tuhan pernah mengatakan, “Kita enggak
mampu bantu orang miskin yang begitu banyak. Kalau satu milyar kita
bagikan kepada orang akhirnya akan habis juga.” Setelah sering membaca
Firman Tuhan, saya mulai mengerti bahwa charity berbeda dengan justice.
Charity itu seperti orang Samaria yang baik hati, ia menolong orang yang
dianiaya. Sedangkan justice, kita menjamin orang di sepanjang jalan
dari Yerusalem ke Yerikho tidak ada lagi yang dirampok dan dianiaya. Hal
ini yang memicu saya untuk memasuki dunia politik.
Pada awalnya saya juga merasa takut dan ragu-ragu mengingat saya seorang
keturunan yang biasanya hanya berdagang. Tetapi setelah saya terus
bergumul dengan Firman Tuhan, hampir semua Firman Tuhan yang saya baca
menjadi rhema tentang justice. Termasuk di Yesaya 42 yang mengatakan
Mesias membawa keadilan, yang dinyatakan di dalam sila kelima dalam
Pancasila. Saya menyadari bahwa panggilan saya adalah justice.
Berikutnya Tuhan bertanya, "Siapa yang mau Ku-utus?" Saya menjawab,
“Tuhan, utuslah aku”.
Di dalam segala kekuatiran dan ketakutan, saya menemukan jawaban Tuhan
di Yesaya 41. Di situ jelas sekali dibagi menjadi 4 perikop. Di perikop
yang pertama, untuk ayat 1-7, disana dikatakan Tuhan membangkitkan
seorang pembebas. Di dalam Alkitab berbahasa Inggris yang saya baca (The
Daily Bible – Harvest House Publishers), ayat 1-4 mengatakan God’s
providential control, jadi ini semua berada di dalam kuasa pengaturan
Tuhan, bukan lagi manusia. Pada ayat 5-10 dikatakan Israel specially
chosen, artinya Israel telah dipilih Tuhan secara khusus. Jadi bukan
saya yang memilih, tetapi Tuhan yang telah memilih saya. Pada ayat 11-16
dikatakan nothing to fear, saya yang saat itu merasa takut dan gentar
begitu dikuatkan dengan ayat ini. Pada ayat 17-20 dikatakan needs to be
provided, segala kebutuhan kita akan disediakan oleh-Nya. Perikop yang
seringkali hanya dibaca sambil lalu saja, bisa menjadi rhema yang
menguatkan untuk saya. Sungguh Allah kita luar biasa.
Di dalam berpolitik, yang paling sulit itu adalah kita berpolitik bukan
dengan merusak rakyat, tetapi dengan mengajar mereka. Maka saya tidak
pernah membawa makanan, membawa beras atau uang kepada rakyat. Tetapi
saya selalu mengajarkan kepada rakyat untuk memilih pemimpin: yang
pertama, bersih yang bisa membuktikan hartanya dari mana. Yang kedua,
yang berani membuktikan secara transparan semua anggaran yang dia
kelola. Dan yang ketiga, ia harus profesional, berarti menjadi pelayan
masyarakat yang bisa dihubungi oleh masyarakat dan mau mendengar
aspirasi masyarakat. Saya selalu memberi nomor telepon saya kepada
masyarakat, bahkan saat saya menjabat sebagai bupati di Belitung. Pernah
satu hari sampai ada seribu orang lebih yang menghubungi saya, dan saya
menjawab semua pertanyaan mereka satu per satu secara pribadi. Tentu
saja ada staf yang membantu saya mengetik dan menjawabnya, tetapi semua
jawaban langsung berasal dari saya.
Pada saat saya mencalonkan diri menjadi Bupati di Belitung juga tidak
mudah. Karena saya merupakan orang Tionghoa pertama yang mencalonkan
diri di sana. Dan saya tidak sedikit menerima ancaman, hinaan bahkan
cacian, persis dengan cerita yang ada pada Nehemia 4, saat Nehemia akan
membangun tembok di atas puing-puing di tembok Yerusalem.
Hari ini saya ingin melayani Tuhan dengan membangun di Indonesia, supaya
4 pilar yang ada, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal
Ika bukan hanya wacana saja bagi Proklamator bangsa Indonesia, tetapi
benar-benar menjadi pondasi untuk membangun rumah Indonesia untuk semua
suku, agama dan ras. Hari ini banyak orang terjebak melihat realita dan
tidak berani membangun. Hari ini saya sudah berhasil membangun itu di
Bangka Belitung. Tetapi apa yang telah saya lakukan hanya dalam lingkup
yang relatif kecil. Kalau Tuhan mengijinkan, saya ingin melakukannya di
dalam skala yang lebih besar.
Saya berharap, suatu hari orang memilih Presiden atau Gubernur tidak
lagi berdasarkan warna kulit, tetapi memilih berdasarkan karakter yang
telah teruji benar-benar bersih, transparan, dan profesional. Itulah
Indonesia yang telah dicita-citakan oleh Proklamator kita, yang
diperjuangkan dengan pengorbanan darah dan nyawa. Tuhan memberkati
Indonesia dan Tuhan memberkati Rakyat Indonesia.
Shalom..
BalasHapusNice Artikel..
dan saya suka dengan blog ini.. semoga bisa menjadi terang bagi sesama..