Aku menatap langit-langit kamarku. Aku
gelisah. Aku diperhadapkan dengan sebuah pilihan yang berat. Sebuah
pilihan yang akan mengubah hidupku. Sebuah pilihan yang sengat besar
resikonya.
Satu jam berlalu. Akhirnya aku memutuskan
menjadi seorang pengikut Yesus Kristus. Inilah awal dimana aku memulai
hidup baruku. Dengan penuh tantangan yang harus aku hadapi.
Sebulan kemudian.
“Kamu jadi kristen ya?” tanya papaku yang duduk diantara keluarga besarku di ruang tamu.
Sorot mata kebencian terpancar diantara
mereka. Aku bagaikan domba diantara kerumunan serigala yang buas. Apa
yang salah kalau aku jadi Kristen?
Selama ini aku menjunjung tinggi pancasila Buddhis yang ada 5 yaitu:
- Pannatipata veramani sikkhapadang sammadiyammi, yang artinya saya bertekat akan melatih diri untuk menghindari pembunuhan makhluk hidup.
- Adinnadana veramani sikkhapadang sammadiyammi, yang artinya saya bertekat akan melatih diri untuk menghindari mengambil sesuatu yang tidak diberikan.
- Kamesu micchacara veramani sikkhapadang samadiyami, yang artinya saya bertekat akan melatih diri untuk menghindari perbuatan asusila.
- Musavadha veramani sikkhapadang samadiyami, yang artinya saya bertekat akan melatih diri untuk menghindari menghindari ucapan tidak benar.
- Surameraya majjapamadatthana veramani sikkhapadang samadiyami, yang artinya saya bertekat akan melatih diri untuk menghindari mengkonsumsi segala zat yang dapat menyebabkan hilangnya kesadaran.
Namun semuanya berubah ketika aku tanpa
sengaja membaca buku “The purpose driven life” dan sering mendengar
lagu-lagu Kristen. Aku sangat penasaran dengan ajaran Kristen sehingga
itu yang membuatku sembunyi-sembunyi masuk ke dalam gereja. Namun
sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh juga ke tanah. Aku
ketahuan masuk gereja oleh keluargaku. Itu yang membuatku disidang hari
ini oleh semua keluarga besarku.
“Jawab! Apa kamu menjadi Kristen?” tanya papaku dengan nada yang sangat tinggi.
“Iya.” jawabku sambil tertunduk.
PLAKKK!!!
Sebuah tamparan mendarat dipipiku. Sebuah
tamparan yang berasal dari tangan yang pernah membelaiku dan membingku
untuk berjalan sewaktu kecil. lalu dia berkata, ” mama menyesal
melahirkan kamu!”
Bagaikan sebongkah batu besar jatuh menimpa hatiku, demikianlah perasaanku saat mendengar ucapan ibuku.
Ayahku menarik tubuhku ke tengah-tengah
ruang keluarga. Aku dipukul. Ditendang tanpa ampun. Aku hanya bisa diam.
Menangis dan berdoa dalam hati. Hampir semua keluargaku yang berkumpul
hari itu, menganiayaku agar aku berubah pikiran untuk tidak menjadi
seorang Kristen. Namun tidak ada yang bisa mengubah keputusanku. Apa
lagi Alkitab mencatat, ”Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di sorga.” Matius 10:33.
Diantara ketidakberdayaanku aku melihat ijazah dan isi dompetku dibakar oleh ibuku.
“Kamu bukan anak papa dan nama kamu terhapus dalam daftar silsilah keluarga,” ucap ayaku.
Aku diseret oleh pamanku. Aku diseret keluar dari rumah.
“Sekarang terserah, kamu mau kemana saja. Jangan coba-coba menginjakkan kaki ke rumah ini lagi,” kata kokoku.
Dengan sisa tenaga yang masih ada dan
menahan rasa sakit, aku berdiri dan berjalan meninggalkan rumahku tanpa
membawa apa-apa selain pakaian yang melekat ditubuhku dan sedikit uang
di saku celanaku yang tidak sempat aku masukin di dompet.
Aku melangkah pelan sambil mengucapkan
sebait doa, “Tuhan jangan angkat beban hidup ini dariku. tapi berikanlah
aku pundak yang lebih besar untuk kuat menopang pelajaran hidup yang
Engkau berikan. Engkau selalu tau apa yang terbaik bagi hidupku. Dan aku
percaya bahwa dalam segala perkara dapat ku tanggung di dalam Engkau.”
“Pak tolonglah, saya ngga punya uang lagi.”
“Ini jakarta! Kalo ngga punya uang, boker aja dicelana,” ucap penjaga toilet umum.
Aku tidak ingin berdebat dengannya. Ah,
aku menahan rasa sakit perutku. Aku terkena diare karena aku terpaksa
makan makanan sisa yang aku temui di terminal tempat aku tidur. Aku
memutuskan untuk tidur di emperan toko dengan beralaskan koran bekas.
Rasa sakit itu mendera perutku lagi. Aku hanya menangis dan berdoa. Dulu
aku merasakan semua kenyamanan kini semuanya berubah dengan sebuah
penderitaan yang entah sampai kapan akan berakhir. Sudah beberapa gereja
yang aku datangi untuk menampungku tapi tidak ada yang mau menampungku.
Aku tidak menyalahkan mereka karena aku tidak memiliki kartu identitas.
Aku memaklumi itu karena Jakarta penuh dengan kebohongan. Orang bisa
melakukan apa saja untuk melakukan tindakan kriminal. Siapa yang mau
menampungku di kota Jakarta ini tanpa ada identitas?
“Woi, gembel! Bangun!” Teriak si empunya
toko sambil menendang tubuhku yang di serbu oleh lalat karena ternyata
semalam aku buang air besar dicelana.
Dengan cepat aku bangun lalu pergi.
Ada sejuta rindu akan kasur yang empuk, makanan yang enak dan kehangatan sebuah keluarga yang ku simpan dihatiku sampai kini.
Disinilah aku sekarang. Disinilah aku
hidup. Dari satu metromini, kopaja atau bus aku ngamen. Pekerjaan yang
tidak pernah aku lakukan. Dimalam hari aku tidur di terminal dan hari
mingu aku selalu menyempatkan diriku untuk beribadah di gereja.
“Salam sejahtra untuk anda semua, izinkan
saya bernyanyi untuk menghibur dalam perjalanan anda. Mohon maaf kalau
kehadiran saya mengganggu anda.” Sebuah kalimat yang sudah terekam
diotakku yang selalu kuucapkan sebelum ngamen. Dengan segenap hati aku
mulai bernyanyi.
Di hadiratMu kucari wajahMu
Yang kurindu hanya diriMu
Pribadi yang mengasihiku
Bukan berkatMu
Bukan kebaikanMu
Yang membuatku mengikutiMu
Melainkan diriMu
Sekalipun Kau tak menjawabku
Sekalipun Kau tak lepaskanku
Namun ku akan tetap menyembahMu
Tak kan kutukar dengan apapun
Bagiku hanya Kaulah Tuhanku
Tiada allah lain dalam hidupku
Tak kan berhenti
ku kan memujiMu
Tak kan kuberhenti
menyembahMu
Bagiku hidup adalah pilihan. Setiap
pilihan memiliki resiko tersendiri. Aku tidak pernah menyesal dengan
pilihanku. Kehidupan ibarat sebuah pohon yang ditumbuhi puluhan bahkan
ratusan cabang dan ranting. Ada cabang yang kokoh berdaun rimbun,
berbunga, dan berbuah melimpah. Ada cabang yang kokoh, namun tak dihiasi
terlalu rimbun daun maupun buah dan bunga yang indah, tapi masih tetap
berdaun, berbuah dan berbunga. Ada pula cabang yang kering hingga hanya
memiliki sedikit daun karena meranggas, tanpa memiliki sedikitpun buah
dan bunga. Yang paling menyedihkan adalah cabang yang bahkan mati
sebelum ditumbuhi daun…Ketika cabang terbentuk.
Kita tak pernah tahu apa yang akan
terjadi terhadap cabang tersebut. Semuanya berada di luar jangkauan,
berada di luar kuasa kita. Cabang dan ranting adalah pilihan-pilihan
yang harus kita tempuh untuk menjalani kehidupan. Setiap keputusan
memiliki konsekuensi dan resiko masing-masing. Jadi, kehidupan yang
dimiliki saat ini adalah hasil dari keputusan atas pilihan yang sudah
kita lakukan di masa lalu.Waktu tidak pernah bisa ditarik mundur……..
Tidak berguna menyesali pilihan yang sudah kita ambil. Yang harus kita
lakukan adalah ambil keptutusan terbaik. Hidup ada di tangan kita
sendiri, baik atau buruk hasil yang kita dapat, itulah resiko atas
pilihan yang telah kita buat……..
Satu hal yang aku percaya, “Tuhan turut
bekerja dalam segala perkara untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka
yang mengasihi-Nya.”
Kadang sesuatu yang kita anggap baik
harus kita lepaskan, untuk menerima sesuatu yang terbaik yang Tuhan
telah siapkan dan rancangkan untuk hidup kita. Oleh sebab rancanganNya
adalah rancangan damai sejahtera untuk memberikan kepada kita hari depan
yang penuh harapan dan masa depan yang gilang-gemilang.
Lebih baik aku dihancurkan dan dibangun
kembali di atas dasar yang kokoh, daripada harus terus hidup dalam
kekhawatiran karena lemahnya dasar yang membuatku goyah dan sesekali
dapat membuatku runtuh tanpa dapat dibangun kembali. Biarlah Engkau yang
menghancurkan karena aku tahu Engkau akan membangunnya kembali. Namun,
janganlah keenggananku yang menghancurkan aku karena aku tidak mampu
membangunnya sama sekali hidupku. Aku mau berpindah dari atas pasir ke
atas batu karang yang teguh.
“Kak, kakak punya keluarga?” tanya Amelia si bocah yang sering ngamen dengan ku.
“Kita tidak memiliki hak untuk memilih
dikeluarga mana kita akan lahir tapi kita punya hak untuk menjadikan
siapa pun menjadi bagian dari keluarga kita. Kamu adalah keluarga
kakak,” jawabku sambil mengusap rambutnya.
Aku menikmati pilihan hidupku dan hidup
bersama dengan anak jalanan lainnya. Di duniaku yang baru ini aku
belajar berbagi. Aku bisa tersenyum melihat setiap pagi Amelia bisa ke
sekolah meski kami berdua hanya tinggal di gubuk yang terbuat dari
kardus di pinggiran rel kereta api. Amelia anak yang menjadi pengamen
sejak kecil dan sua hari yang lalu ibunya meninggal karena dirabrak
kereta api.
End ...
Sumber : Kompas
0 comments:
Posting Komentar