Sabtu, 28 April 2012

Apa yang Salah Kalau Aku Jadi Kristen?


Aku menatap langit-langit kamarku. Aku gelisah. Aku diperhadapkan dengan sebuah pilihan yang berat. Sebuah pilihan yang akan mengubah hidupku. Sebuah pilihan yang sengat besar resikonya.
Satu jam berlalu. Akhirnya aku memutuskan menjadi seorang pengikut Yesus Kristus. Inilah awal dimana aku memulai hidup baruku. Dengan penuh tantangan yang harus aku hadapi.

Sebulan kemudian.
“Kamu jadi kristen ya?” tanya papaku yang duduk diantara keluarga besarku di ruang tamu.
Sorot mata kebencian terpancar diantara mereka. Aku bagaikan domba diantara kerumunan serigala yang buas. Apa yang salah kalau aku jadi Kristen?
Namaku Edward Lie.  Aku berusia 18 tahun. Aku terlahir di keluarga yang menganut agama Buddha.
Selama ini aku menjunjung tinggi pancasila Buddhis yang ada 5 yaitu:
  1. Pannatipata veramani sikkhapadang sammadiyammi, yang artinya saya bertekat akan melatih diri untuk menghindari pembunuhan makhluk hidup.

  2. Adinnadana veramani sikkhapadang sammadiyammi, yang artinya saya bertekat akan melatih diri untuk menghindari mengambil sesuatu yang tidak diberikan.

  3. Kamesu micchacara veramani sikkhapadang samadiyami, yang artinya saya bertekat akan melatih diri untuk menghindari perbuatan asusila.

  4. Musavadha veramani sikkhapadang samadiyami, yang artinya saya bertekat akan melatih diri untuk menghindari menghindari ucapan tidak benar.

  5. Surameraya majjapamadatthana veramani sikkhapadang samadiyami, yang artinya saya bertekat akan melatih diri untuk menghindari mengkonsumsi segala zat yang dapat menyebabkan hilangnya kesadaran.
Namun semuanya berubah ketika aku tanpa sengaja membaca buku “The purpose driven life” dan sering mendengar lagu-lagu Kristen. Aku sangat penasaran dengan ajaran Kristen sehingga itu yang membuatku sembunyi-sembunyi masuk ke dalam gereja. Namun sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh juga ke tanah. Aku ketahuan masuk gereja oleh keluargaku. Itu yang membuatku disidang hari ini oleh semua keluarga besarku.
“Jawab! Apa kamu menjadi Kristen?” tanya papaku dengan nada yang sangat tinggi.
“Iya.” jawabku sambil tertunduk.
PLAKKK!!!
Sebuah tamparan mendarat dipipiku. Sebuah tamparan yang berasal dari tangan yang pernah membelaiku dan membingku untuk berjalan sewaktu kecil. lalu dia berkata, ” mama menyesal melahirkan kamu!”
Bagaikan sebongkah batu besar jatuh menimpa hatiku, demikianlah perasaanku saat mendengar ucapan ibuku.
Ayahku menarik tubuhku ke tengah-tengah ruang keluarga. Aku dipukul. Ditendang tanpa ampun. Aku hanya bisa diam. Menangis dan berdoa dalam hati. Hampir semua keluargaku yang berkumpul hari itu, menganiayaku agar aku berubah pikiran untuk tidak menjadi seorang Kristen. Namun tidak ada yang bisa mengubah keputusanku. Apa lagi Alkitab mencatat, ”Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di sorga.” Matius 10:33.
Diantara ketidakberdayaanku aku melihat ijazah dan isi dompetku dibakar oleh ibuku.
“Kamu bukan anak papa dan nama kamu terhapus dalam daftar silsilah keluarga,” ucap ayaku.
Aku diseret oleh pamanku. Aku diseret keluar dari rumah.
“Sekarang terserah, kamu mau kemana saja. Jangan coba-coba menginjakkan kaki ke rumah ini lagi,” kata kokoku.
Dengan sisa tenaga yang masih ada dan menahan rasa sakit, aku berdiri dan berjalan meninggalkan rumahku tanpa membawa apa-apa selain pakaian yang melekat ditubuhku dan sedikit uang di saku celanaku yang tidak sempat aku masukin di dompet.
Aku melangkah pelan sambil mengucapkan sebait doa, “Tuhan jangan angkat beban hidup ini dariku. tapi berikanlah aku pundak  yang lebih besar untuk kuat menopang pelajaran hidup yang Engkau berikan. Engkau selalu tau apa yang terbaik bagi hidupku. Dan aku percaya bahwa dalam segala perkara dapat ku tanggung di dalam Engkau.”

“Pak tolonglah, saya ngga punya uang lagi.”
“Ini jakarta! Kalo ngga punya uang, boker aja dicelana,” ucap penjaga toilet umum.
Aku tidak ingin berdebat dengannya. Ah, aku menahan rasa sakit perutku. Aku terkena diare karena aku terpaksa makan makanan sisa yang aku temui di terminal tempat aku tidur. Aku memutuskan untuk tidur di emperan toko dengan beralaskan koran bekas. Rasa sakit itu mendera perutku lagi. Aku hanya menangis dan berdoa. Dulu aku merasakan semua kenyamanan kini semuanya berubah dengan sebuah penderitaan yang entah sampai kapan akan berakhir. Sudah beberapa gereja yang aku datangi untuk menampungku tapi tidak ada yang mau menampungku. Aku tidak menyalahkan mereka karena aku tidak memiliki kartu identitas. Aku memaklumi itu karena Jakarta penuh dengan kebohongan. Orang bisa melakukan apa saja untuk melakukan tindakan kriminal. Siapa yang mau menampungku di kota Jakarta ini tanpa ada identitas?
“Woi, gembel! Bangun!” Teriak si empunya toko sambil menendang tubuhku yang di serbu oleh lalat karena ternyata semalam aku buang air besar dicelana.
Dengan cepat aku bangun lalu pergi.
Ada sejuta rindu akan kasur yang empuk, makanan yang enak dan kehangatan sebuah keluarga yang ku simpan dihatiku sampai kini.


Disinilah aku sekarang. Disinilah aku hidup. Dari satu metromini, kopaja atau bus aku ngamen. Pekerjaan yang tidak pernah aku lakukan. Dimalam hari aku tidur di terminal dan hari mingu aku selalu menyempatkan diriku untuk beribadah di gereja.
“Salam sejahtra untuk anda semua, izinkan saya bernyanyi untuk menghibur  dalam perjalanan anda. Mohon maaf kalau kehadiran saya mengganggu anda.” Sebuah kalimat yang sudah terekam diotakku yang selalu kuucapkan sebelum ngamen. Dengan segenap hati aku mulai bernyanyi.

Di hadiratMu kucari wajahMu
Yang kurindu hanya diriMu
Pribadi yang mengasihiku
Bukan berkatMu
Bukan kebaikanMu
Yang membuatku mengikutiMu
Melainkan diriMu
Sekalipun Kau tak menjawabku
Sekalipun Kau tak lepaskanku
Namun ku akan tetap menyembahMu
Tak kan kutukar dengan apapun
Bagiku hanya Kaulah Tuhanku
Tiada allah lain dalam hidupku
Tak kan berhenti
ku kan memujiMu
Tak kan kuberhenti
menyembahMu


Bagiku hidup adalah pilihan. Setiap pilihan memiliki resiko tersendiri. Aku tidak pernah menyesal dengan pilihanku. Kehidupan ibarat sebuah pohon  yang ditumbuhi puluhan bahkan ratusan cabang dan ranting. Ada cabang yang kokoh berdaun rimbun, berbunga, dan berbuah melimpah. Ada cabang yang kokoh, namun tak dihiasi terlalu rimbun daun maupun buah dan bunga yang indah, tapi masih tetap berdaun, berbuah dan berbunga. Ada pula cabang yang kering hingga hanya memiliki sedikit daun karena meranggas, tanpa memiliki sedikitpun buah dan bunga. Yang paling menyedihkan adalah cabang yang bahkan mati sebelum ditumbuhi daun…Ketika cabang terbentuk.

Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi terhadap cabang tersebut. Semuanya berada di luar jangkauan, berada di luar kuasa kita. Cabang dan ranting adalah pilihan-pilihan yang harus kita tempuh untuk menjalani kehidupan. Setiap keputusan memiliki konsekuensi dan resiko masing-masing. Jadi, kehidupan yang dimiliki saat ini adalah hasil dari keputusan atas pilihan yang sudah kita lakukan di masa lalu.Waktu tidak pernah bisa ditarik mundur…….. Tidak berguna menyesali pilihan yang sudah kita ambil. Yang harus kita lakukan adalah ambil keptutusan terbaik. Hidup ada di tangan kita sendiri, baik atau buruk hasil yang kita dapat, itulah resiko atas pilihan yang telah kita buat……..

Satu hal yang aku percaya, “Tuhan turut bekerja dalam segala perkara untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi-Nya.”
Kadang sesuatu yang kita anggap baik harus kita lepaskan, untuk menerima sesuatu yang terbaik yang Tuhan telah siapkan dan rancangkan untuk hidup kita. Oleh sebab rancanganNya adalah rancangan damai sejahtera untuk memberikan kepada kita hari depan yang penuh harapan dan masa depan yang gilang-gemilang.
Lebih baik aku dihancurkan dan dibangun kembali di atas dasar yang kokoh, daripada harus terus hidup dalam kekhawatiran karena lemahnya dasar yang membuatku goyah dan sesekali dapat membuatku runtuh tanpa dapat dibangun kembali. Biarlah Engkau yang menghancurkan karena aku tahu Engkau akan membangunnya kembali. Namun, janganlah keenggananku yang menghancurkan aku karena aku tidak mampu membangunnya sama sekali hidupku. Aku mau berpindah dari atas pasir ke atas batu karang yang teguh.

“Kak,  kakak punya keluarga?” tanya Amelia si bocah yang sering ngamen dengan ku.
“Kita tidak memiliki hak untuk memilih dikeluarga mana kita akan lahir tapi kita punya hak untuk menjadikan siapa pun menjadi bagian dari keluarga kita. Kamu adalah keluarga kakak,” jawabku sambil mengusap rambutnya.

Aku menikmati pilihan hidupku dan hidup bersama dengan anak jalanan lainnya. Di duniaku yang baru ini aku belajar berbagi. Aku bisa tersenyum melihat setiap pagi Amelia bisa ke sekolah meski kami berdua hanya tinggal di gubuk yang terbuat dari kardus di pinggiran rel kereta api. Amelia anak yang menjadi pengamen sejak kecil dan sua hari yang lalu ibunya meninggal karena dirabrak kereta api.

End ...

Sumber : Kompas
Share this article :

0 comments:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...